Kabartelisik.com – Beberapa asosiasi pengusaha dan pelaku industri di Indonesia mengajukan permintaan kepada pemerintah untuk menunda rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang dijadwalkan berlaku pada 1 April 2024. Mereka menganggap bahwa langkah ini akan membebani sektor bisnis, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Hariyadi B. Sukamdani, menyampaikan bahwa kenaikan PPN berpotensi menambah beban produksi dan meningkatkan harga barang serta jasa di pasar.
“Kami sangat memahami bahwa pemerintah perlu menaikkan PPN untuk memperbaiki defisit anggaran. Namun, kondisi ekonomi saat ini, yang masih belum stabil, sangat tidak mendukung untuk implementasi kebijakan ini. Kami khawatir ini akan memperburuk daya beli masyarakat dan memengaruhi kinerja sektor industri,” ujarnya dalam pernyataan resmi , Kamis (16/11).
Kenaikan PPN yang direncanakan sebesar 2 persen, dari tarif sebelumnya yang 10 persen, diharapkan dapat menambah penerimaan negara. Meski demikian, pengusaha menilai bahwa kenaikan ini dapat berdampak negatif terhadap daya saing industri nasional di pasar global.
“Bagi kami, hal ini akan menjadi tantangan besar. Kenaikan harga produk akibat PPN yang lebih tinggi bisa membuat produk Indonesia lebih mahal dibandingkan negara tetangga. Ini bisa mempengaruhi ekspor kita,” tambah Hariyadi.
Para pengusaha juga menyoroti kondisi inflasi yang masih cukup tinggi dan dampaknya terhadap pengeluaran konsumen.
“Kenaikan PPN di saat inflasi juga belum sepenuhnya terkendali, tentu akan memperburuk keadaan. Banyak pelaku usaha yang masih berjuang untuk menjaga kelangsungan bisnis mereka, dan kebijakan ini bisa menjadi beban tambahan yang tidak perlu,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Economic Forum (IEF), Fithra Faisal Hastiadi.
Pemerintah, di sisi lain, menganggap kenaikan PPN sebagai langkah yang diperlukan untuk mendongkrak pendapatan negara dan memastikan kelancaran pembiayaan program-program pembangunan nasional. Namun, mereka juga menyatakan terbuka untuk berdialog dengan pengusaha dan memperhitungkan dampak kebijakan tersebut terhadap perekonomian.
Masyarakat dan pelaku usaha kini berharap agar pemerintah mempertimbangkan kembali pelaksanaan kebijakan tersebut, atau setidaknya memberikan kelonggaran waktu untuk menyesuaikan diri.