Headnews.id – PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) melaporkan kerugian bersih sebesar US$131,22 juta atau setara Rp2 triliun hingga kuartal III/2024, meskipun tetap mencatat EBITDA positif. Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, menjelaskan bahwa sebagian besar kerugian ini berasal dari penerapan standar akuntansi PSAK 73, yang berdampak pada laporan keuangan perusahaan terkait pencatatan leasing operasional.
“Kerugian yang terlihat itu, jika Anda melihat secara mendetail, sebagian besar muncul karena perlakuan akuntansi sesuai dengan PSAK 73, yang mengatur pencatatan untuk leasing operasional,” jelas Irfan kepada wartawan pada Senin (4/11/2024).
Irfan menambahkan bahwa EBITDA Garuda Indonesia mencapai angka positif sebesar US$685,81 juta, mencerminkan kondisi operasional perusahaan yang sudah kembali sehat. “EBITDA kita kan 600 juta, sudah untung dan sehat. Tapi ini terkait perlakuan akuntansi,” ungkapnya, menekankan bahwa angka EBITDA ini merupakan indikator nyata kesehatan operasional perusahaan.
Garuda Indonesia juga sedang mempertimbangkan opsi penggunaan metode akuntansi alternatif yang diperbolehkan, untuk memberikan gambaran yang lebih tepat terkait kinerja perusahaan. “EBITDA adalah tolak ukur sebenarnya,” ujarnya.
Kinerja operasional Garuda juga tercermin dari peningkatan pendapatan usaha sebesar 15% menjadi US$2,56 miliar selama sembilan bulan pertama 2024, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$2,23 miliar. Pertumbuhan ini didorong oleh pendapatan penerbangan berjadwal yang naik sebesar 17% (year-on-year) menjadi US$2,01 miliar, diikuti oleh kenaikan pendapatan penerbangan tidak berjadwal sebesar 6%, dan pendapatan lainnya yang juga meningkat sebesar 8%.
Namun, Garuda juga mencatat beban usaha yang mengalami kenaikan, yakni sebesar US$2,38 miliar hingga kuartal III/2024, naik dibandingkan dengan posisi tahun sebelumnya sebesar US$1,99 miliar. Beban usaha yang meningkat ini turut berperan dalam meningkatkan kerugian yang dapat diatribusikan kepada entitas induk, yang mencapai US$131,22 juta, lebih besar dari kerugian pada periode yang sama tahun lalu, yakni US$72,38 juta.
Dengan demikian, meskipun secara akuntansi mengalami kerugian, Garuda Indonesia menekankan bahwa secara operasional, perusahaan dalam kondisi sehat dan terus menunjukkan peningkatan performa.